Perempuan, Kepemimpinan, dan Amanah di Ruang Akademik Islam

Perempuan, Kepemimpinan, dan Amanah di Ruang Akademik Islam

Model kepemimpinan semacam ini, sebagaimana ditegaskan oleh Lahmar (2024), membantu mengurangi jarak kuasa dan menumbuhkan budaya kepemimpinan yang lebih spiritual, empatik, dan berkeadilan di lingkungan pendidikan Islam.

Sementara itu, teori organisasi kontemporer juga mulai meninjau ulang bias gender dalam struktur kelembagaan. 

Penelitian Rouzi dkk. (2022) mengembangkan kembali gagasan gendered organization dengan menyoroti bagaimana institusi pendidikan Islam masih memelihara norma maskulinitas yang menyingkirkan pengalaman perempuan. 

Dalam konteks ini, kehadiran pemimpin perempuan menjadi bentuk kritik moral dan structural mereka tidak hanya memimpin, tetapi juga mengubah cara lembaga memahami makna kepemimpinan itu sendiri.

Islam sesungguhnya telah lama mengajarkan prinsip-prinsip yang sejalan dengan teori-teori kepemimpinan modern tersebut. 

Dalam pandangan Islam, kepemimpinan bukanlah privilege, melainkan Amanah tanggung jawab moral dan spiritual yang menuntut keikhlasan serta keadilan. 

Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada pemiliknya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58). Ayat ini menegaskan dua prinsip utama kepemimpinan: amanah dan ‘adl (keadilan).

Amanah bermakna tanggung jawab moral terhadap Allah, masyarakat, dan lembaga yang dipimpin. 

Sedangkan ‘adl menuntut keberpihakan terhadap kelompok yang sering terpinggirkan, termasuk perempuan akademisi. 

Dengan demikian, kepemimpinan perempuan dalam ruang akademik Islam bukan sekadar representasi sosial, tetapi pengejawantahan nilai-nilai Islam yang paling mendasar keadilan, rahmah, dan kemanusiaan.

Perempuan pemimpin membawa cara pandang berbeda terhadap kekuasaan  bukan untuk mendominasi, tetapi untuk memelihara (nurturing power). 

Pandangan ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa kekuasaan sejati adalah sarana ibadah, bukan alat supremasi. Ketika perempuan menduduki posisi kepemimpinan, nilai-nilai empati, kejujuran, dan kemaslahatan cenderung lebih menonjol dalam praktik kelembagaan. 

Dengan demikian, kehadiran mereka menjadi jembatan antara teori modern dan nilai-nilai Islam yang mengutamakan keseimbangan, keadilan, dan keberkahan dalam setiap amanah kepemimpinan.

Ruang Akademik Islam sebagai Arena Perubahan

Perguruan tinggi Islam sejatinya memiliki tanggung jawab ganda: mengembangkan ilmu pengetahuan dan menanamkan nilai spiritual. 

Sumber: