“Pemimpin Bijak vs Diktator: Psikolog Ungkap Perbedaan Pola Pikir dan Karakter Keduanya”

“Pemimpin Bijak vs Diktator: Psikolog Ungkap Perbedaan Pola Pikir dan Karakter Keduanya”

--istockphoto.com

ACEH.DISWAY.ID - Dalam setiap lingkup kehidupan—baik organisasi, komunitas, maupun pemerintahan—kehadiran seorang pemimpin menjadi faktor penting yang menentukan arah dan suasana kerja. Namun, tidak semua pemimpin memiliki pola pikir dan karakter yang sama. Dari kacamata psikologi, perbedaan antara pemimpin bijak dan pemimpin diktator bisa dilihat dari cara mereka mengelola emosi, memandang kekuasaan, serta memperlakukan orang lain.

Menurut psikolog dan konsultan kepemimpinan, Dr. Rahmat Hidayat, perbedaan paling mendasar terletak pada mindset dan pengendalian diri.

pemimpin bijak memiliki kesadaran emosional yang tinggi. Ia mampu menahan ego dan mempertimbangkan perasaan orang lain sebelum mengambil keputusan,” ujar Rahmat.

Sebaliknya, pemimpin dengan sifat diktator biasanya memiliki kecenderungan narsistik, merasa paling benar, dan sulit menerima kritik. Mereka lebih fokus pada kontrol dan dominasi ketimbang kolaborasi.

pemimpin bijak: Cermin dari Kecerdasan Emosional

pemimpin bijak cenderung tenang, reflektif, dan terbuka terhadap masukan. Mereka memahami bahwa setiap orang memiliki potensi yang berbeda dan membutuhkan ruang untuk berkembang.

“Dalam psikologi kepemimpinan, pemimpin bijak adalah mereka yang mampu berempati. Ia mendengar lebih banyak, berbicara seperlunya, dan bertindak dengan kesadaran penuh,” jelas Rahmat.

Kecerdasan emosional (emotional intelligence) menjadi ciri utama tipe pemimpin ini. Mereka mampu mengelola konflik dengan bijak, menenangkan situasi saat krisis, serta membangun suasana kerja yang positif dan suportif.

pemimpin diktator: Dominasi Ego dan Rasa Takut Kehilangan Kendali

Berbeda dengan pemimpin bijak, pemimpin diktator sering kali dipengaruhi oleh ketakutan kehilangan kekuasaan. Secara psikologis, mereka memiliki tingkat kebutuhan kontrol yang sangat tinggi.

pemimpin diktator cenderung merasa terancam bila ada orang lain yang lebih kompeten atau berani berbeda pendapat. Mereka menafsirkan kritik sebagai serangan pribadi,” tambah Rahmat.

Pemimpin dengan tipe ini biasanya kurang memiliki empati. Mereka lebih suka dipatuhi daripada dihormati, dan menganggap loyalitas sebagai bentuk kepatuhan mutlak, bukan kepercayaan yang lahir dari rasa hormat.

Akibatnya, dalam jangka panjang, gaya kepemimpinan seperti ini menimbulkan tekanan psikologis di lingkungan kerja, menurunkan motivasi, bahkan memicu konflik tersembunyi.

Menemukan Keseimbangan dalam Kepemimpinan

Psikolog menyarankan agar setiap pemimpin belajar menyeimbangkan antara ketegasan dan empati. Keberanian mengambil keputusan memang penting, tetapi harus disertai kesadaran diri dan kemampuan memahami perspektif orang lain.

“Pemimpin yang sehat secara psikologis tidak menghindari kritik, justru menggunakannya untuk tumbuh. Ia tahu bahwa kekuasaan bukan alat menekan, tapi sarana untuk membangun,” tutup Rahmat.

Sumber: