Striptease Importir dan Pelapak Binaan Dalam Praktik Oligopoli Masih Anjloknya Harga Singkong di Lampung

Striptease Importir dan Pelapak Binaan Dalam Praktik Oligopoli Masih Anjloknya Harga Singkong di Lampung

--

Menjual ke lapak lapak tentu dengan harga yang jauh lebih murah. Bahkan hanya dihargai maksimal Rp 1.050 dengan rafaksi rata rata hanya 33 persen.

Ironisnya berdasarkan hasil investigasi radar lampung grup, pelapak itu juga bekerjasama dengan pabrikan. Bahkan, diantaranya adalah orang orang pabrik itu sendiri.

Tujuannya tentu untuk mendapatkan harga singkong yang jauh lebih murah.

Seperti yang diungkapkan Yusuf, warga Tulang Bawang seorang pemilik 12 hektare lahan singkong.

Pada panen minggu lalu, dari 12 ha itu dia hanya mendapatkan uang lebih dari selisih biaya dan pendapatan hanya Rp 3,5 juta.

“Jadi per 1 haktate tidak sampai Rp 300 ribu. Kalau dihitung dari biaya transportasi untuk sekadar memantau kebun, rasanya saya tidak dapat apa-apa. Bahkan rugi untuk investasi selama 11 bulan,” ujar Yusuf kepada Radar Lampung.

Radar mencoba mengambil harga terbaik untuk petani, yakni Rp 1.350 perkilo dengan rafaksi 35 persen.

Maka harga yang diterima petani dari pabrik adalah Rp 877. Dikurangi biaya cabut dan transportasi Rp 210. Berarti hanya tersisa Rp 667.

Selain itu petani singkong juga harus menanggung biaya lain lain. Seperti biaya makan dan minum serta rokok sopir, biaya satpam, biaya bongkar muat, biaya gorengan pekerja dll. Jumlah ini bisa mencapai Rp 350-Rp 400 ribu per 1 truk.

Jika dihitung total biaya biaya ini bisa mencapai Rp 25 ribu perkilo.

Maka total bersih pendapatan petani singkong hanya Rp 625 saja.

Masalah yang terjadi di lapangan, truk truk pengangkut singkong mereka umumnya harus menunggu antrean. Antrian ini bisa memakan waktu 2 hari.

Jika harus menunggu maka membutuhkan biaya tambahan untuk sopir. Besarannya bisa mencapai Rp 350 ribu per 1 truk. Maka pendapatan bersih yang diterima petani sudah di bawah Rp 600 perkilo.

Dan sopirpun enggan menunggu dalam waktu lama karena mereka juga akan rugi jumlah rate angkutan.

Jadi dengan skema harga dan rafaksi terbaik saja, petani sudah merugi. Bayangkan kalau pabrikan menerapkan rafaksi di atas 35 persen. Maka petani singkong kian menjerit. Menangis tanpa lagi bisa mengeluarkan air mata.

Sumber: