Remaja Kelaparan Gizi: Ironi Generasi Millenial & Gen Z di Tengah Banjir Informasi Kuliner

Remaja Kelaparan Gizi: Ironi Generasi Millenial & Gen Z di Tengah Banjir Informasi Kuliner

--id.prosple.com

ACEH.DISWAY.ID - Di balik tren kuliner dan konten makanan yang membanjiri media sosial, tersembunyi masalah serius yang menggerogoti masa depan bangsa: krisis gizi di kalangan generasi muda Indonesia. Survei terbaru menunjukkan tingginya prevalensi double burden of malnutrition—kekurangan dan kelebihan gizi—pada remaja usia 15-24 tahun, yang berpotensi mempengaruhi kualitas sumber daya manusia dalam satu dekade mendatang.

BACA JUGA:Pola Makan Sehat untuk Tingkatkan Imun: Rekomendasi Ahli Gizi agar Tubuh Tetap Kuat

"Kami menemukan fenomena hidden hunger atau kelaparan terselubung. Asupan kalori mungkin cukup, bahkan berlebih, tetapi tubuh mereka sebenarnya lapar akan vitamin dan mineral penting seperti zat besi, zinc, dan vitamin A," papar dr. Fatimah Azzahra, M.Gizi, peneliti dari Pusat Studi Gizi Universitas Nasional.

Ia menambahkan, "Paradoks ini diperparah dengan gaya hidup urban. Mereka bisa menghabiskan uang untuk minuman kekinian tinggi gula, tapi mengabaikan sayuran dan protein berkualitas."

Faktor Penyebab: Dari Gaya Hidup Hingga Ekonomi

Analisis pakar mengungkap beberapa akar masalah yang saling berkait:

  1. Dominasi Gaya Hidup Instan & Fast Food: Konsumsi makanan olahan tinggi garam, gula, dan lemak jenuh semakin meningkat, sementara konsumsi serat dari buah dan sayur sangat rendah.
  2. Literasi Gizi yang Rendah: Banyak anak muda mengaku kebingungan membedakan informasi gizi yang valid di tengah maraknya diet trends dan klaim kesehatan di media sosial.
  3. Keterbatasan Ekonomi: Di kalangan remaja dari keluarga prasejahtera, masalah akses terhadap pangan bergizi tetap menjadi penghalang utama. Pilihan seringkali jatuh pada makanan yang mengenyangkan, bukan yang bernutrisi.
  4. Perilaku Sedentari & Stress Eating: Kurang aktivitas fisik dikombinasikan dengan pola makan emosional untuk mengatasi stres akademik atau pekerjaan turut memperburuk kondisi.

"Tidak sedikit mahasiswa yang mengandalkan mi instan dan kopi sachet sebagai asupan utama selama minggu ujian. Ini adalah bom waktu bagi kesehatan mereka," ujar Arif Budiman, aktivis kesehatan mahasiswa dari sebuah universitas negeri di Jakarta.

Dampak Jangka Panjang yang Mengkhawatirkan

Masalah gizi pada usia remaja dan dewasa muda bukan hanya persoalan fisik semata. Kekurangan gizi kronis dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif, konsentrasi belajar yang buruk, dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes dan hipertensi di usia produktif.

"Generasi ini akan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia pada 2030-2040. Jika kapasitas fisik dan kognitifnya terkikis karena masalah gizi sejak muda, target Indonesia Emas 2045 bisa jadi sekadar wacana," tegas Prof. Dr. Agus Susanto, pakar kebijakan kesehatan masyarakat.

Solusi: Pendekatan Multisektoral dan Revolusi Edukasi

Menyikapi hal ini, diperlukan intervensi yang menyeluruh:

  • Edukasi Gizi yang Relevan: Materi penyuluhan gizi perlu dikemas dengan bahasa dan saluran (seperti platform digital) yang sesuai dengan dunia anak muda.
  • Intervensi di Lingkungan Kampus & Kantor: Promosi kantin sehat, akses air minum gratis, dan larangan iklan makanan minim gizi di lingkungan institusi pendidikan.
  • Kolaborasi dengan Pelaku Usaha: Mendorong industri makanan dan restoran, khususnya yang digemari anak muda, untuk menyediakan pilihan yang lebih sehat dengan labeling gizi yang jelas.
  • Penguatan Regulasi: Pengawasan ketat terhadap iklan dan promosi makanan tinggi gula, garam, dan lemak yang menyasar anak muda.

"Mengubah perilaku makan adalah proses panjang. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tanggung jawab kita sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pilihan gizi yang lebih baik," tutup dr. Fatimah.

Sumber: