Jusuf Kalla Beri Saran ke DPR: Revisi UU Pemerintahan Aceh Harus Sesuai dengan MOU Helsinki

 Jusuf Kalla Beri Saran ke DPR: Revisi UU Pemerintahan Aceh Harus Sesuai dengan MOU Helsinki

Wapres Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) menegaskan bahwa pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang MOU Helsinki 2005-TVR Parlemen-

BACA JUGA:BNI Perkuat Dukungan ke UMKM Lewat Kredit Produktif dan Inovasi Digital

JK menutup paparannya dengan menegaskan bahwa revisi UU Pemerintahan Aceh harus tetap menjaga semangat perdamaian. Menurutnya, Aceh sudah melalui jalan panjang untuk keluar dari konflik, sehingga setiap langkah perubahan hukum harus sejalan dengan MoU Helsinki.

“Semua yang kita sepakati sudah tertuang dalam undang-undang. Jadi jangan ada revisi yang keluar dari itu, karena ini menyangkut perdamaian yang kita perjuangkan bersama,” tandasnya.

Di kesempatan yang sama, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin 2004-2007 Kabinet Indoyang turut hadir dalam rapat, mengenang peran JK dalam memimpin proses perdamaian. Ia menceritakan bagaimana dirinya ditugaskan mendampingi JK dalam misi perundingan dengan GAM di berbagai negara.

"Pak JK bilang, tidak adil kalau kita hanya urus konflik di Poso dan Ambon, sementara saudara-saudara kita di Aceh sudah 30 tahun hidup dalam ketakutan. Besoknya beliau panggil saya, ‘Mid, saya sudah bicara ke Presiden. Kita berangkat mengurus Aceh.’ Itu saya ingat tanggal 27 Februari 2002," ungkap Hamid.

Ia juga bercerita pengalaman unik saat bertemu pimpinan GAM di Amsterdam. JK meminta dirinya untuk duduk di sisi kanan dan kiri dalam sebuah perahu kecil.

“Saya tanya kenapa, beliau jawab, takut didorong ke air kalau pimpinan GAM marah. Padahal airnya dangkal. Tapi beliau bilang agak keras, ‘Hamid, dalam atau dangkal sama saja, karena saya tidak bisa berenang’,” tutur Hamid.

 

Sebagai informasi, Kesepakatan Helsinki memiliki 71 butir pasal. Di antaranya, Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama, karena kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah RI sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu.

Sumber: